Tadarus Pengawas Pemilu 17 : Isu SARA dalam Politik adalah Pembodohan
|
Agus Muhammad dari Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) dalam Tadarus Pengawasan Pemilu (TPP) Bawaslu RI edisi ke-17, menyatakan bahwa pada saat pademi wabah corona seperti ini pengawasan Pilkada harus lebih ditingkatkan, menurutnya pengawasan tetap harus dilakukan dalam situasi normal maupun tidak normal, karena dalam situasi sempit sekalipun ada banyak pihak yang mengambil kesempatan untuk kepentingan politik tertentu.
Masih menurut Agus terutama mengenai pengawasan politisasi sara menjadi isu yang sismentik, dan tidak banyak orang yang menyadari bahwa politisasi sara ini adalah sesuatu yang membahayakan, padahal pada pemilihan sebelumnya dibeberapa daerah hal ini telah terbukti menjadi penyebab pembelahan social di masyarakat.
“Saya cenderung mengatakan bahwa menggunakan isu sara dalam politik itu bukan sesuatu yang menarik, bahkan itu pembodohan terhadap publik karena kalau orang hanya dicekoki isu-isu sara maka yang terjadi adalah orang teralihkan pada problem-problem real yang ada di masyarakat.” Ungkapnya, Rabu (13/5).
Lebih lanjut dirinya memaknai politisasi sara itu sebagai upaya untuk memanfaatkan atau me eksplosasi sentimen-sentimen kesukuan, Ras, Agama untuk menaikkan kelompoknya, akan tetapi politiasasi sara yang secara haluspun sebaiknya tidak dijalankan, misalnya istilah putra daerah itu salah satu bentuk politisasi sara secara halus, tentu saja ini tidak negatif, tetapi menurutnya ketika mengajukan putra daerah harusnya betul-betul putra terbaik bukan karena faktor lain
“Kalau setidaknya putra daerah ingin memimpin daerah pastikan 3 hal terpenuhi, yakni mepunyai kemampuan untuk meyakinkan semua kalangan bahwa di layak untuk menjadi pemimpin, kapasitas atau sumber daya dalam mengatasi masalah di daerah, dan integritas sebagai jaminan pekerjaannya untuk kepentingan orang banyak.” Kata Agus.
Agus pun mengapresiasi kinerja Bawaslu yang sudah berusaha maksimal untuk menciptakan iklim pengawasan partisipatif, gagasan sekolah kader. “Pengawasan parrtisipatif sudah bagus tapi perlu di tingkatkan dengan pengawasan organik pengawasan dengan hati yang terdalam dengan penuh cinta bahwa pengawasan itu adalah hal yang sangat penting.” Pungkasnya.
Potret Partisipasi Pemilih dan Kualitas Pengawasan Pemilu
Sementara itu peneliti dari Sindikasi Pemilu Dan Demokrasi (SPD) Erick Kurniawan dikesempatan yang sama menjelaskan ada banyak cerita dalam pilkada pada pilkada 2020 salah satunya seperti ada kelesuan ada semacam kejenuhan dari pemilih.
“Semua nampak normal semua nampak biasa-biasa saja seolah-olah tidak ada pilkada, mungkin ini dapak resesi demokrasi global yang tidak hanya berdampak kepada Indonesia saja tapi seluruh dunia, dimana alat ukur indikasi-indikasi demokrasi itu turun mungkin juga kejenuhan dengan baru saja selesai Pemilu kok mau Pemilihan lagi.” Kata Erick.
Lebih lajut dirinyapun mengatakan bahwa dalam partisipasi politik ada 2 unsur yaitu yang pertama keikut sertaan warga negara dalam proses pemilu menentukan siapa yang jadi pemimpinnya, yang kedua ikut sertaan suka rela warga negarauntuk proses pengambilan kebijakan baik itu langsung dan tidak langsung.
Erick pun memaparkan partisipasi masyarakat dalam Pilkada sejak 2015 hingga 2018 masih belum mencapai 80 %. Menurutnya Ini menunjukkan kesadaran masyarakat masih kurang partisipasinya dalam Pilkada, dan tingginya partisipasi masyarakat dalam Pilkada masih banyak dipengaruhi oleh politik uang, hoax dan ujaran kebencian.
“Namun dari penelitian di tahun 2020 ini partisipasi masyarakat dalam Pilkada banyak dipengaruhi oleh pandemi Covid-19.” Pungkasnya.
Tag
Berita