Lompat ke isi utama

Berita

Tadarus Pengawas Pemilu 15 : Mengawal Netralitas Birokrasi

Praktik Politisasi birokrasi telah muncul dan berkembang sejak lama, bahkan hal tersebut dindikasi terjadi semenjak diterapkannya sistem demokrasi dalam pemilihan kepala pemerintahan. Disi lain pada masa pemerintahan monarki praktik serupa juga telah ada, namun bentuknya masih sebatas korupsi dan nepotisme. Demikianlah ungkapan Ahsanul Minan dari UNUSIA pada Tadarus Pengawasan Pemilu Bawaslu RI edisi ke-15, Senin (11/5), namun dirinya mengatakan di era demokrasi ini peraturan Pemilu dan Pemilihan sudah mengatur secara detail terhadap praktik politisasi birokrasi dan pelanggaran-pelangaran lain seperti netralitas ASN. “Seperti dalam UU tentang Pilkada Pasal 69, 70 dan 71 ada beberapa larangan untuk menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah, larangan ikut berkampanye, larangan menggunakan program dan kegiatan 6 bulan sebelum jabatan berakhir bagi petahana serta larangan menggunakan dana kampanye yang berasal dari anggaran pemerintah.” Ungkapnya. Masih kata Ahsanul Minan bahwa di luar aturan Pilkada juga ada aturan lain terkait netralitas ASN yakni UU 5 tahun 2014 tentang aparatur sipil negara, PP nomor 53 tahun 2010 tentang disipilin PNS yang mengatur larangan bagi PNS untuk memberikan dukungan kepada calon kepala daerah dan wakil kepala daerah serta SE Menpan RB tahun 2015 yang melarang ASN menjadi calon dan memberikan dukungan kepada calon kepala daerah. Selain itu menurutnya terdapat 2 pendekatan untuk mengawasi netralitas ASN yang pertama yakni dengan melihatnya dari anggaran dan melihatnya dari aspek politisiasi birokrasi diluar angggaran yakni terkait kewenangan. “Terkait anggaran bisa dilihat dari APBD 1 tahun atau 2 tahun sebelum Pilkada untuk melihat perubahan dan penambahan jumlah alokasi anggaran yang memiliki irisan dengan permainan politik, semisal bantuan sosial dana hibah dll. Yang kedua kita bisa melihat pada mobilisasi ASN atau massa untuk mendukung calon yang dilakukan oleh aparatur pemerintah salah satunya melihatnya melalui media.” Tambahnya. Dirinya pun berharap, jika masyarakat selama masa Pemilihan menemukan dugaan-dugaan peyalahgunaan wewenang dan pelanggaran netralitas tersebut, untuk melaporkannya kepada Bawaslu. Pendidikan Pemilih untuk Masyarakat Rentan Dikesempatan yang sama Nurlia Dian Paramitha dari JPPR mengatakan bahwa pentingnya pendidikan bagi para pemilih, karena menurutnya pendidikan pemilih merupakan bagaian dari pendidikan kewaranegaraan, yang berisi proses pemberian subtansi atau materi berupa proses pelaksanaan pemilihan umum baik nasional atau Pilkada, termasuk siapa yang diiizinkan pemilih, cara pedaftaran, kandidat yag berkontestasi serta cara melakukan sanggahan atau ketidaksetujuan pada proses yang berjalan. “Dalam PKPU 10 tahun 2018 dijelaskan bahwa pendidikan pemilih merupakan proses penyampaian informasi kepada pemilih untuk meningkatkan, pengetahuan, pemahaman dan kesadaran, pemilih tentang Pemilu.” Terangnya. Lebih lanjut Nurlia menjelaskan gaya/metode pendidikan bagi pemilih dapat dilakukan dengan berbagai cara yakni seperti halaqah kegamaan seperti pengajian dan kegiatan keagamaan serta halaqah online seperti talk show radio, televisi dan diskusi daring. “Juga bisa dilakukan melalui halaqah akademik seperti seminar serta halaqoh sosial seperti kumpulan RT/RW.” Jelasnya. Diakhir pemaparannya ia menegaskan bahwa kelompok rentan seperti pengungsi, pekerja migran, perempuan, penyandang disabilitas, pemilih pemula, masyarakat adat dan pemilih yang problem administrasi secara kependudukan menjadi target utama dalam pendidikan pemilih dan terus didorong untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan dan pengawasan Pemilu. “Urgensi pendidikan pemilih yakni agar setiap individu mampu menentukan kehendak sendiri dengan penuh kesadaran atas sebuh pilihan terhadap pemimpin. Setiap individu memahami bahwa berhak memperoleh perlakuan setara dan bernilai sama.” Pungkasnya. (*)
Tag
Berita