Lompat ke isi utama

Berita

RDP bagi Strategi Wujudkan Lembaga Adil Gender Bawaslu

blitar.bawaslu.go.id – Anggota Bawaslu RI, Ratna Dewi Pettalolo (RDP) menyampaikan penguatan perempuan dapat dilakukan sejak regulasi, edukasi, sampai dengan konsolidasi. Hal ini ia sampaikan saat mengisi acara bertajuk Peran Perempuan dalam Penguatan Kelembagaan: Membangun Organisasi Bawaslu Adil Gender, di Malang, Jum’at (6/11/2020). Koordinator Divisi OSDM Bawaslu Kabupaten Blitar Nur Ida Fitria selaku satu-satunya Srikandi Pengawasan di Blitar, hadir dalam giat yang digelar 6-7 November 2020 ini. RDP menyebut tiga problematika mewujudkan adil gender perempuan dalam politik di Indonesia. Yakni adanya tantangan internal, institusi politik dan kebijakan yang diskriminatif. “Realitasnya perempuan menghadapi sejumlah tantangan internal, institusi politik bias gender, dan kebijakan yang diskriminatif,” tuturnya. Tantangan internal perempuan yang dimaksud oleh RDP terletak pada perbebatan domestik, jejaring dan soal kapasitas sebagai pengawas perempuan. “Dalam dunia penyelenggaraan pemilu, kita menghadapi masalah pada kapasitas sumber daya perempuan, pengetahuan perempuan tentang kepemiluan, pengalaman dan jejaring, proses seleksi dan kepentingan politik,” tambahnya. Tantangan lainnya adalah insitituasi politik bias gender. RDP mengungkapkan, sudah ada tindakan afirmatif secara normatif membuka akses bagi perempuan masuk ke jantung kekuasaan politik. Namun ketika perempuan sudah masuk, yang dihadapi adalah institusi politik dengan aturan main dan perilaku maskulin. "Sebagian perempuan memilih mengimitasi perilaku maskulin dalam persaingan meraih jabatan politik,” tambahnya. RDP juga menyebut tantangan lainnya tentang kebijakan diskriminatif. Menurutnya keterlibatan perempuan dalam politik masih terpinggirkan, baik dalam proses politik maupun pengambilan keputusan. “Ada pandangan yang merendahkan terhadap kapasitas perempuan dalam institusi politik. Menempatkan perempuan pada posisi tidak strategis di dalam kepemimpinan jabatan politik. Selain tentu Budaya patriarki menjadikan perempuan sulit mengekspresikan aspirasinya secara mandiri, sehingga kepentingan politiknya tidak terakomodasi dalam kebijakan,” ujar RDP. Sebagai lembaga yang berperspektif gender, menurut Dewi diperlukan review regulasi internal tentang tata kelola organisasi yang masih bias gender, pengarusutamaan gender dalam penganggaran, program kerja, dan penguatan kapasitas pengawas pemilu, dan rancang pengawasan partisipatif berperspektif gender. “Kita pahami adil memang tidak harus sama. Tetapi Bawaslu yang adil gender itu harus memberikan ruang dan peluang terhadap perempuan untuk tampil dalam ruang publik,” terangnya. Menurut Dewi, upaya menegakkan kesetaraan gender bisa dilakukan sejak pembentukan pengawas pemilu. “Perlu diperhatikan jumlah tim seleksi perempuan dan penguatan perspektif afirmasi dalam seleksi pengawas perempuan. Karena pengawas perempuan di Indonesia masih belum memenuhi kuota. Bawaslu provinsi hanya 21% (40 dari 188 orang), dan Bawaslu Kabupaten/Kota 16% (318 dari 1.914 orang),” terangnya. Saat sudah menjadi pengawas, lanjut RDP, maka parempuan harus menjalankan kewajiban, tugas dan kewenangan sesuai peraturan, menjaga kode etik dan perilaku, siap menghadapi segala resiko pekerjaan, mampu berbagi waktu dalam kewajiban pekerjaan dan tanggung jawab dalam keluarga. (humas)  
Tag
Berita