POLITIK UANG DALAM PILKADA SERENTAK DI TENGAH PANDEMI
|
Oleh : Endah Ayuning
(Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Gajah Mada Jogjakarta)
Meski sempat ditunda, pesta demokrasi elektoral di tingkat lokal guna memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah akan tetap dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Tercatat sebanyak 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota, terdaftar sebagai peserta Pilkada Serentak pada tahun 2020. Pelaksanaan Pilkada tahun ini tentunya memberikan tantangan tersendiri bagi lembaga penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu di tingkat pusat maupun daerah. Mengingat Pilkada tahun ini dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19 yang menimbulkan adanya efek domino pada sektor lain di masyarakat, terkhusus pada sektor ekonomi. Penyelenggaraan Pilkada Serentak yang bertalian dengan kondisi perekonomian semua kalangan yang semakin menurun, diindikasikan membuka peluang bagi tumbuh suburnya praktik politik uang atau money politic. Seperti yang kita ketahui, secara umum politik uang biasa diartikan sebagai upaya untuk mempengaruhi perilaku pemilih dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada yang mengartikan politik uang sebagai tinadakan jual beli suara pada sebuah proses politik dan kekuasaan. Namun pada dasarnya praktik politik uang dap-at dibedakan ke dalam empat lingkaran, sebagai berikut : Lingkaran pertama, adalah transaksi antara pemilik modal dengan calon kepala daerah sebagai aktor pengambil kebijakan pasca Pilkada; Lingkaran kedua, adalah transaksi antara calon kepala daerah dengan partai politik pengusungnya; Lingkaran ketiga, adalah transaksi antara calon kepala daerah dengan petugas pelaksana pilkada yang mempunyai kewenangan untuk memproses hasil pemungutan suara; Lingkaran keempat, adalah transaksi antara calon kepala daerah dan tim kampanye dengan massa atau pemilih (vote buying). Praktik politik uang pada keempat lingkaran ini berlangsung secara terstruktur, sistematis dan masif di setiap tahapan pemilihan. Oleh karena itu setidaknya, kekhawatiran mengenai tumbuh suburnya praktik politik uang dalam penyelenggaraan Pilkada tahun ini merupakan hal yang sangat wajar, mengingat proses pemilihan yang dihadapkan dengan adanya situasi krisis akibat pandemi. Mahalnya Ongkos Politik dan Oligarki Peluang munculnya praktik politik uang dalam pilkada dapat diidentifikasi sejak awal. Menjadi hal yang wajar di Indonesia, bahwa untuk dapat menjadi calon kepala daerah diperlukan biaya ‘sewa perahu’ yang dibayarkan sebelum atau setelah pilkada. Jumlah sewa yang harus dibayarkan ini diperkirakan cukup besar, jauh melampaui batas sumbangan dana kampanye yang ditetapkan dalam undang-undang. Hal ini tidak dapat diketahui secara pasti dikarenakan segala proses yang terjadi di balik layar. Namun melansir pernyataan Firman Noor, Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI, taksiran biaya ‘sewa perahu’ yang dikeluarkan untuk menjadi bupati atau walikota mencapai pada angka Rp 20 Miliar- Rp 30 Miliar. Biaya politik yang mahal untuk berkontestasi dalam bursa pencalonan kepala daerah ini akhirnya akan semakin memperkuat adanya praktik oligraki lokal. Untuk memenuhi syarat tersebut, maka tidak mengherankan apabila calon kepala daerah akan menjalin relasi dengan elit ekonomi lokal yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah bersangkutan. Calon kepala daerah akan mencari pengusaha guna dijadikan sebagai investor politik untuk membiayai mereka dalam kontestasi politik. Dengan kata lain jaringan relasi ini akan memicu munculnya oligarki di tingkat lokal. Secara logika, calon kepala daerah yang berhutang untuk ongkos pilkada akan mengembalikan biaya tersebut dengan melanggengkan kepentingan para elite, sehingga aspirasi masyarakat luas terpinggirkan. Situasi semacam ini akhirnya juga akan melahirkan problem turunan yakni tindakan korup oleh oknum-oknum tertentu. Oknum kepala daerah akan membalas jasa melalui berbagai kesepakatan poltik antara mereka dan pihak yang membiayainya, entah itu melalui proses bagi-bagi kue kekuasaan yang bersumber dari APBD, atau melalui munculnya kebijakan-kebijakan yang menguntungkan investor politik seperti kasus yang terjadi baru-baru ini pada Bupati Kutai, Kalimantan Timur yang diciduk KPK akibat proses politik transaksional saat Pilkada, dengan jaminan penguasaan sumber daya alam. Upaya Membangun Kesadaran Masyarakat Langgengnya praktik politik uang juga tidak lepas dari persepsi pemilih yang permisif atas politik uang itu sendiri. Masyarakat beranggapan bahwa praktik pembelian suara merupakan hal yang lumrah dalam Pilkada, sehingga mereka tidak menyadari bahwasanya praktik ini semakin menggerus nilai-nilai demokrasi. Tingkat kesadaran politik yang masih kurang akibat rendahnya pendidikan, beriringan dengan penurunan kondisi perekonomian sebagian besar pemilih, sehingga mempengaruhi preferensi mereka dalam memberikan suara. Kondisi ini rawan akan dimanfaatkan bagi oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk menggunakan politik uang sebagai senjata utama guna memperoleh simpati dari masyarakat. Pilkada yang seharusnya menjadi ajang bagi calon kepala daerah untuk beradu visi-misi atau program kerja, justru berubah menjadi ajang pembelian suara rakyat. Oleh karena itu, sosialisasi politik harus terus dilakukan penyelengggara pemilu guna mengedukasi masyarakat untuk menolak politik uang. Meskipun pada dasarnya kondisi pandemi yang tiap harinya semakin menggerus perekonomian masyarakat sulit terbendung, sehingga menyuburkan praktik gelap dalam Pilkada. Namun, tetap saja situasi pandemi tidak dibenarkan untuk menjadi alasan politik uang dapat diterima. Upaya sosialisasi politik ini diharapkan dapat memgembangkan kedewasaan masyarakat dalam memahami bagaimana politik praktis diimplementasikan. Bagaimanapun juga, masyarakatlah yang menjadi target utama praktik-praktik politik semacam ini. Untuk itu, masyarakat perlu diajak berpikir rasional dan mawas diri, bahwasanya Pilkada merupakan ajang mencari pemimpin yang akan memegang tampuk kekuasaan selama lima tahun kedepan, bukan untuk mencari sosok dermawan yang hanya muncul saat kontestasi berlangsung. Namun, upaya ini tentunya hanya akan berhasil apabila terjadi sinergi antara pemerintah, lembaga penyelenggara pemilu, partai politik dan masyarakat sipil. Pemerintah melalui Bawaslu dapat memperkuat pengawasan dan mempertegas sanksi guna mengakomodir keluhan-keluhan terkait tindak pidana politik uang, dengan memanfaatkan regulasi yang sebelumnya telah ada. Masyarakat sipil juga dituntut berpikir kritis dalam memahami kondisi politik yang sedang dan akan terjadi selama proses pemilihan, guna membangun Pilkada yang berintegritas. - Jika praktik politik uang terus terjadi, dapat dipastikan bahwa kehidupan demokrasi dalam suatu negara akan semakin rusak. Pemilihan umum hanya akan menjadi lahan bagi oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang memiliki hasrat tak terbendung dan kerakusan untuk menguasai kekayaan negara. Hal ini tentunya berimplikasi pada lemahnya pemerintahan yang terbentuk terhadap kuasa uang, hingga akhirnya melahirkan perilaku korup elit-elit lokal. Intinya, pembiaran politik uang akan berujung pada tercederainya tujuan dari demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, praktik politik uang harus dianggap sebagai kejahatan besar yang harus dilawan dan dimusnahkan bersama-sama. (*)Tag
Opini