Menilik Perubahan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu dalam Pesta Demokrasi 2024
|
Oleh:
Henni Handayani Satya
(Mahasiswa Universitas Negeri Malang)
Menilik Perubahan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu dalam Pesta Demokrasi 2024 Angin segar berhembus pasca lahirnya UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasalnya salah satu atmosfer baru bagi bawaslu adalah mandate kewenangan untuk memutuskan pelanggaran maupun sengketa pemilu. Dimana sebelumnya bawaslu hanya mengambil peran sebagai perekomendasi. Dibalik itu semua, setiap kebijakan tidak selalu berjalan mulus sebagaimana harapan. Baru baru ini banyak bermunculan di media terkait durasi penuntasan sengketa pemilu pada tahun 2024. Wacana ini tidak hanya sekedar wacana yang nantinya akan menguap tanpa bentuk tindak lanjut. Nyatanya Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja menerangkan pada media bahwa telah ada kesepakatan dengan KPU terkait penyelesaian sengketa pada Pemilu 2024 nanti maksimal hanya memakan durasi waktu selama 10 hari. Sebelumnya KPU menyatakan bahwa penyelesaian sengketa proses pemilu hanya akan diselesaikan selama 6 hari kalender,. Banyak pihak yang kemudian bertolak belakang dengan rencana kebijakan tersebut, sebab hal tersebut dirasa tidak masuk akal jika dibandingkan dengan menimbang upaya penyelesaian sengketa sebelumnya yang memakan durasi maksimal 12 hari kerja. Dengan kurun waktu yang cukup singkat itu tentunya akan menjadi tantangan tersendiri bagi Bawaslu dalam mengentaskan permohonan sengketa yang akan diterima pada proses pemilu 2024 nanti. Alasan Pengurangan Durasi Penyelesaian Sengketa Menjadi 10 hari Menariknya kesepakatan yang terbentuk mengenai pengentasan penyelesaian sengketa Pemilu 2024 antara Bawaslu dan KPU ini merupakan buah negosiasi atas redaksi dalam Rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum yang mana menyatakan masa penyelesaian sengketa Pemilu harus tuntas dalam 6 hari kalender. Tentunya bukan tanpa sebab wacana kebijakan ini lahir. Menurut hemat penulis, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pada tahun 2024 dilaksanakan dua hajat demokrasi secara serentak seluruh Indonesia. Pertama pemilihan umum pada 14 februari 2024 dan pemilihan kepala daerah pada 27 November 2024. Dua hajat besar demokrasi ini tentu membutuhkan anggaran yang cukup ekstra serta kekuatan SDM penyelenggara yang memadai dengan jarak pelaksanaan yang cukup dekat. Selain itu usulan penyelesaian sengketa Pemilu 2024 dengan kurun waktu kurang dari 12 hari kerja sebagaimana diatur dalam ayat 2 Pasal 468 Undangundang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum merupakan dampak atas keputusan KPU yang menetapkan masa kampanye selama 75 hari. Penyelesaian Sengketa Selama 12 hari, Kapasitas Bawaslu Sebagaimana termuat dalam ketentuan ayat 2 Pasal 468 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa proses pemilu paling lama 12 hari kerja tidak dapat dipandang sebelah mata. Ketentuan ini juga turut menjadi pertimbangan dengan mengacu pada asas lex superior derogate legi inferior dimana kedudukan UU Nomor 7 tahun 2017 berada lebih tinggi apabila dibandingakan dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum. Ini artinya aturan dalam PKPU tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam UU Nomor 7 tahun 2017. Selama kurun waktu tersebut tidak ada pihak yang dapat memastikan total permohonan sengketa proses pemilu yang diajukan kepada Bawaslu. Dilain sisi dalam hal penyelesaian sengketa tugas Bawaslu bukan hanya sebagai pemutus sengketa. Ada 5 tugas Bawaslu dalam penyelesaian sengketa yang tidak dapat dikesampingkan, kelima tugas tersebut diantaranya menerima permohonan sengketa proses pemilu , melakukan verifikasi secara formil dan materiil permohonan sengketa proses pemilu, ketiga melakukan mediasi antara pihak yang bersengketa, keempat melakukan proses ajudikasi PSPP, dan terakhir, memutus penyelesaian sengketa proses pemilu. Kelima tugas tersebut memiliki keterkaitan dan tidak dapat dipisah satu dengan yang lain. Puncaknya pada memutus penyelesaian sengketa proses pemilu harus diputus secara adil dan bijak, sebagaimana upaya mencapai demokrasi yang ideal mengingat pemilu merupakan salah satu pilar demokrasi Indonesia. Tanpa bermaksud mengesampingkan kapasitas anggota Bawaslu, dengan kerja kerja demikian harus dimbangi dengan kapasitas SDM anggota Bawaslu. Sesuatu yang ideal mustahil untuk dicapai apabila tidak diusahakan. Berkaca pada potret lapangan anggota bawaslu banyak yang kemudian tidak linier dengan riwayat pendidikan maupun sisi empiris. Pengampuan dari masing masing divisi yang ada pada Bawaslu tidak memasang aturan spesifik kapasitas anggota sesuai dengan tupoksi dari masing masing divisi. Aspek lain yang tidak kalah penting adalah berkaitan dengan keadaan internal Bawaslu, utamanya Kabupaten/kota. Realitanya, banyak secara structural 1 orang komisioner secara kerja dibantu oleh 1 staf divisi beruntung apabila dibantu hingga 2 staff. Tidak menutup kemungkinan pula bahwa seorang komisioner dalam kerja lapangan dibantu oleh staf divisi (ex deposio) Hal demikian pula yang perlu untuk dipertimbangkan dalam pengambilan kebijakan atas kerja kerja Bawaslu utamanya pada penyelesaian sengketa proses pemilu. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Milen (2006) yang merumuskan bahwa kapasitas organisasi sebagai kemampuan, keterampilan, pemahaman, sikap, nilai-nilai, hubungan, perilaku, motivasi, sumber daya, dan kondisi-kondisi yang memungkinkan setiap individu, organisasi, jaringan kerja/sektor, dan sistem yang lebih luas untuk melaksanakan fungsi-fungsi mereka dan mencapai tujuan pembangunan yang telah ditetapkan dari waktu ke waktu . Ini artinya kapasitas anggota bawaslu sebagai pondasi kerja kerja Bawaslu kedepannya. Langkah konkrit yang telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan dalam penguatan kapasitas anggota Bawaslu adalah dengan diselenggarakannya bimbingan teknis. Kendati demikian sudah cukup efektifkah penyelenggara bimbingan teknis guna menanggulangi permasalahan ini ? Trend Pencegahan Sengketa dan Fenomena Sengketa Selain melakukan pengawasan atas pelaksanaan Pemilihan Umum maupun Pemilihan, perlu public ketahui Bawaslu juga turut mengambil peran dalam membangun serta menguatkan pengawasan partisipatif pada masyarakat. Bawaslu juga mengambil langkah edukatif melalui sosialisasi dan kegiatan diskusi secara intens guna menekan permohonan sengketa. Selain secara edukatif bawaslu melakukan pemetaan sengketa yang merupakan langkah preventif bagi peluang peluang pelanggaran pemilu maupun sengketa. Rumusan rumusan langkah pencegahan ini merupakan salah satu representasi bawaslu dalam fungsi pencegahan. Meskipun demikian dari setiap proses pemilu maupun pilkada mustahil tanpa diselimuti dengan sengketa. Baik sengketa antar peserta pemilu maupun sengketa antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu yang tidak diharapkan kehadiranya selalu termuat dalam laporan tahunan Bawaslu. Berdasarkan publikasi laporan akhir tahun Bawaslu 2019 menyebutkan terdapat sejumlah 816 permohonan sengketa dimana kesemuanya tersebar sebagaiamana berikut, pada Bawaslu berjumlah 43 Permohonan, Bawaslu Provinsi 172 Permohonan, dan Bawaslu Kabupaten/Kota 596 Permohonan.. *Sumber : Publikasi Bawaslu RI Apabila diuraikan kembali permohonan tersebut diklasifikan sebagaimana Tahap Verifikasi Partai Politik berjumlah 17 Permohonan, Tahap Penetapan Daftar Calon Sementara (DCS) 428 Permohonan, Tahap Penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) 191 Permohonan, Tahap Kampanye 77 Permohonan, Tahap Pasca Kampanye 5 Permohonan, Tahap Penetapan Daftar Pemilih Tetap 2 Permohonan, dan Tahapan lainnya 91 Permohonan. Jumlah tersebut bukan angka yang kecil jika dibandingkan dengan banyaknya upaya yang telah dilakukan oleh Bawaslu dalam menekan angka permohonan sengketa pemilu. Bagaimana dengan perhelatan pesta demokrasi 2014 ? Kiranya sekitar 767 kasus telah diterima oleh MK terkait sengketa pemilu legislative 2014. Sampainya sengketa ini kepada meja Mahkamah Konstitusi merupakan representasi penolakan atas Keputusan Bawaslu mengenai permohonan penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Bawaslu. Apakah ini artinya kerja Bawaslu dalam penyelesain sengketa pemilu tidak efektif dengan durasi yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang undangan ? Pengentasan atas permohonan sengketa yang diajukan kepada Bawaslu memerlukan ketelitian dalam setiap rangkaiannya prosesnya, perlu pengkajian serta analisa tanpa menunjukan keberpihakan kepada pihak pemohon atau termohon. Sebagaian besar asumsi public terkukung pada wewenang bawaslu dalam memutuskan permohonan sengketa pemilu maupun pilkada, namun public juga terkesan lupa bahwa Bawaslu memiliki peran ganda dalam memutuskan permohonan sengketa yang diajukan. Peran ganda tersebut adalah memeriksa, mengkaji dan memutuskan permohonan sengketa. Berdasarkan hasil tracking media, mengutip pada laman m.mediaindonesia.com KPU telah melakukan audiensi dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi terkait durasi penuntasan sengketa proses pemilu. Hasil audiensi tersebut menyebutkan bahwa penuntasan proses sengketa pemilu akan diselesaikan paling lambat 15 hari kerja.Tanpa mengurangi paparan pendapat penulis, dengan mempertimbangkan kondisi sebagaimana telah disebutkan perlunya menimbangkan kembali durasi penuntasan sengketa proses pemilu yang dilakukan oleh Bawaslu. Pelaksanaan bimbingan teknis tentunya perlu dievaluasi dan di massifkan kepada seluruh anggota Bawaslu tanpa terkecuali, tak lain tujuannya adalah untuk menguatkan kapasitas anggota Bawaslu dan pemerataan pengetahuan terkait kepemiluan dalam internal lembaga Bawaslu. Penyelesaian permohonan sengketa Pemilu memerlukan effort ekstra guna meraih keadilan pemilu. Tak cukup hanya itu, keniscayaan dalam mewujudkan keadilan pemilu demi menegakan demokrasi Indonesia membutuhkan kontribusi nyata dari seluruh pihak tanpa terkecuali masyarakat. Sebagaimana pernah diungkap oleh Presiden ke-4 Indonesia, bahwa masyarakat bukan hanya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi melainkan juga merupakan basis kekuatan potensial atas penyelenggaraan kehidupan bernegara. Oleh karenanya masyarakat yang bijak dapat menguatkan peran bawaslu dalam membentuk pengawasan yang partisipatif.Tag
Berita