Lompat ke isi utama

Berita

Ketua Bawaslu Blitar: Penerapan UU Pilkada Rancukan Kewenangan Bawaslu

“Penerapan UU Pilkada, menurut saya suatu kemunduran. Padahal sejak 15 Agustus 2018, sesuai UU Pemilu No 7 Tahun 2017 kelembagaan awalnya panitia pengawas menjadi Bawaslu. Jadi adhoc menjadi permanen,” kata Ketua Bawaslu Kabupaten Blitar, Abdul Hakam Sholahuddin di ruang kerjanya di Jalan A Yani Kota Blitar, Senin (30/9).

 
BLITAR – Pada 2020 mendatang, 19 kabupaten/kota di Jawa Timur menggelar hajat besar demokrasi. Kabupaten Blitar menjadi salah satu daerah yang menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. Namun yang menjadi ganjalan, mengenai regulasi yang menjadi acuan pelaksanaan Pilkada 2020 tersebut. Sebab, pada Pilkada 2020 menggunakan UU No. 10 Tahun 2016, di mana isi UU dinilai berpotensi melemahkan wewenang Bawaslu. Seperti diketahui, kelembagaan Bawaslu semakin kuat seiring dengan terbitnya UU No. 7 Tahn 2017 tentang Pemilu. Tidak lagi lembaga adhoc, melainkan lembaga tetap penyelenggara pemilu. Ketua Bawaslu Kabupaten Blitar Abdul Hakam Sholahuddin menyatakan, berdasarkan UU Pemilu No.7/2017 Bawaslu mempunyai kewenangan yang cukup besar. Akan tetapi dalam UU Pilkada No. 10/2016 ada perbedaan karena identifikasi menyangkut nomenklatur pengawas pemilu di dalam undang-undang tersebut tidak mengenal adanya Bawaslu. Namun hanya mengenal Panwas. Dengan tidak memiliki dasar hukum yang kuat, hal ini dapat berpotensi dipersoalkan oleh pihak-pihak terkait. “Penerapan UU Pilkada, menurut saya suatu kemunduran. Padahal sejak 15 Agustus 2018, sesuai UU Pemilu No 7 Tahun 2017 kelembagaan awalnya panitia pengawas menjadi Bawaslu. Jadi adhoc menjadi permanen,” kata Ketua Bawaslu Kabupaten Blitar, Abdul Hakam Sholahuddin di ruang kerjanya di Jalan A Yani Kota Blitar, Senin (30/9). Selain definisi pengawas pemilu, Hakam menyatakan, regulasi UU Pilkada juga melemahkan proses penanganan dugaan pelanggaran. Dalam UU Pilkada, masa penanganan pelanggaran hanya tiga hari setelah laporan diterima. Sedangkan dalam UU Pemilu, penanganan pelanggaran paling lama tujuh hari setelah temuan dan laporan diterima lalu diregistrasi. “Makin pendeknya masa penanganan yang hanya tiga hari ini, dikhawatirkan penyelenggara belum mampu mengumpulkan alat bukti cukup kuat,” ungkap Hakam yang juga menjabat sebagai Koordinator Divisi Hukum Data dan Informasi. Dalam UU Pilkada, Bawaslu tidak juga tidak lagi memiliki putusan dalam tindak lanjut penanganan pelanggaran administratif. Bawaslu hanya mengeluarkan rekomendasi yang diserahkan ke KPU. “Kalau dalam UU Pemilu, Bawaslu berwenang menyidangkan dugaan pelanggaran. Lalu outputnya berupa putusan dan wajib dilaksanakan setiap peserta pemilu,” jelasnya. Maka dari itu perlu adanya judicial review terhadap Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Beberapa hal yang harus diperbaiki antara lain, nomenklatur dan definisi pengawas lapangan, definisi kampanye, definisi hari, jumlah keanggotan Panwaslu Kabupaten/Kota, tugas Kewajiban dan kewenangan, serta jangka waktu tindak lanjut laporan/temuan penanganan pelanggaran. Saat ini 270 Bawaslu Kabupaten/kota se-Indonesia yang akan menggelar Pilkada pada tahun 2020 masih menunggu hasil uji materil atau judicial review UU Nomor 10 Tahun 2016 yang diajukan beberapa anggota Bawaslu ke Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu. “Semua pihak tentu berharap MK segera memberi kepastian hukum sehingga proses pengawasan Pilkada berjalan lancar,” ujar Hakam. Terlepas dari regulasi yang masih dalam pengajuan judicial review, Bawaslu Kabupaten Blitar akan tetap fokus pada strategi pengawasan yang mengedepankan pencegahan mengacu aturan-aturan yang harus diikuti. (ridha/humas)  
Tag
Berita