Lompat ke isi utama

Berita

KAPU Pembersih Politik Uang

Catatan Oleh :

A.Hakam Sholahuddin

(Ketua Bawaslu Kabupaten Blitar)

  Setelah meng-upload foto prasasti Kampung Anti Politik Uang (KAPU) di status WhatsApp pribadi kemarin (5/12), banyak japri masuk. Kebanyakan menanyakan kampung tersebut ada di mana? Ada juga beberapa wartawan langsung nyeletuk kalau itu sebagai bahan berita yang bagus. Good news is good news. Ada juga sudah ngeh akan gerakan itu kemudian mulai menyangsikan sebagai kegiatan ritual dan seremonial, jauh dari makna. Buktinya setiap penyelenggaraan pilkada atau pemilu, politik uang bak jamur di musim hujan, tanpa yang terjerat. Cibiran itu menjadi spirit bahwa tugas pengawas pemilu semakin berat. Banyak ekspektasi masyarakat terhadap Bawaslu agar penyelenggaraan pilkada benar-benar bersih dan demokratis. Gerakan KAPU memang penuh tantangan dan cibiran. Tapi masih banyak pujian akan gerakan tersebut sebagai salah satu wujud ikhtiar mengedukasi kesadaran masyarakat. Bahwa politik uang sebagai penyakit demokrasi harus bersama-sama dicegah dan diperangi. Politik uang sebagai bentuk pemaksaan dan pemerkosaan atas hak pilih masyarakat secara merdeka. Partisipasi masyarakat atas kesadaran menolak politik uang harus terus dipupuk. Jika menurut Friedman dalam penegakan hukum, kesadaran masyarakat ini sebagai culture hukum itu harus dibangun. Meskipun secara substansi dan struktur hukum sudah berjalan baik, namun tanpa ditopang budaya hukum yang baik tidak akan tegak. Sebab, secara sosiologis seperti ada hubungan yang "saling menguntungkan". Antara pemberi yang ingin mendapatkan suara dan kursi, dengan penerima yang akan memberikan suaranya asal mendapat imbalan. Namun dalam menghadapi pilkada 2020 peserta pilkada dan masyarakat harus move on dari UU nomor 7 tahun 2017. Sebab, dengan dasar hukum pilkada mengacu UU nomor 10 tahun 2016, tidak hanya pemberi, penerima uang bisa kena jeratan hukum. Sesuai pasal 187 A ayat (1) undang-undang tentang pilkada mengatur, setiap orang yang sengaja melakukan perbuatan hukum menjanjikan atau memberi uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada wsrga negara infonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agat tifak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu akan dipidana dengsn pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Sedang untuk penerima pasal 187 A ayat (2). Nah, ayo siapa yang berani memberi dan menerima uang bakal berurusan dengan Bawaslu. Untuk itu mari bersama berikhtiar untuk mencegah terjadinya politik uang. Mari anda menjadi bagian dari masyarakat yang peduli pilkada bersih dan berkualitas.(*)  
Tag
Berita
Opini