Duh, Jangan Lawan Kotak Kosong (Lagi)
|
Oleh : Aluk Sanjaya
(Staf Sekretariat Bawaslu Kabupaten Blitar Divisi Pengawasan)
MASIH lekat dalam benak saya, pada 2015 saat saya menjadi Panitia Pengawas Pemilihan Kecamatan Bakung pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Blitar. Saat itu, yang dilawan adalah kotak kosong. Nah, apakah fenomena melawan kotak kosong ini bakalan terulang lagi pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 di Kabupaten Blitar? Sebenarnya, tidak ada yang salah melawan kotak kosong pada pilkada. Memang, dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada calon tunggal belum terakomodasi. Namun setelah Mahkamah Konstitusi (MK) ketok palu dan mengesahkan Pilkada bisa diikuti oleh satu pasangan calon, semuanya sah dan menjadi konstitusional. Lalu, UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada dirombak dan dituangkan dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 dengan memasukkan nomenklatur yang mengatur calon tunggal. Di luar putusan MK sebagai pemicu dari sisi legal-juridis, lantas faktor apa sesungguhnya yang telah melahirkan fenomena kotak kosong pada Pilkada? Pilkada yang sejatinya didesain sebagai jalan untuk mengonsolidasikan dan menumbuhkan demokrasi di lokal justru cenderung melayukannya. Melawan kotak kosong, pesta demokrasi bukan lagi kontestasi, kompetisi, dan adu gagasan yang visioner. Pastinya, pluralitas pilihan menjadi tiada. Nah, salah satu faktor pemicu fenomena kotak kosong adalah soal politics cost atau ongkos politik yang mahal. Komponen pembiayaannya sudah menjadi rahasia umum. Mulai dari mahar politik alat peraga sosialisasi dan kampanye, hingga anggaran untuk para saksi. Kader-kader internal parpol yang secara figur memiliki kompetensi, rekam jejak mempunyai integritas dengan mudah bisa tersisih, jika para elit sudah membahas soal ongkos politik. Kemudian prosedur dan mekanisme pencalonan yang berat, baik bagi calon-calon yang maju melalui jalur parpol maupun perseorangan. Yang maju melalui parpol, regulasi yang memaksa parpol harus berkoalisi karena tidak memenuhi threshold syarat pengajuan bakal calon kerap menjadi alasan mengapa kemudian partai-partai akhirnya memilih untuk bergabung dalam koalisi besar baik pendukung petahana maupun penantang baru. Jika itu terjadi seperti pilkada- pilkada sebelumnya impact terhadap demokrasi akan mundur. Dari sisi pemilih akan berpotensi menurunkan tingkat partisipasi dalam menyalurkan hak suara nantinya. Tidak heran jika pemilih menjadi malas datang ke tempat pemungutan suara karena petahana pasti menang. Melihat setiap paslon didukung seluruh partai politik, pilkada dengan paslon tunggal berpotensi untuk menyuburkan praktik politik kelompok. Artinya, partai cenderung bertindak secara kolektif untuk melanggengkan kepentingan para elit politik, berlawanan dengan sifat umum sistem kepartaian yang kompetitif. Dalam hal pengawasan pelaksanaan pemilihan dengan calon tunggal lebih kompleks, karena beberapa regulasi tidak mengatur secara detail. Contohnya, apabila ada orang atau kelompok yang mengkampanyekan untuk tidak memilih calon tunggal akan menimbulkan persoalan hukum tersendiri. Sedangkan upaya fasilitasi dari pemerintah yang gencar melakukan sosialisasi ke masyarakat agar tidak golput, dapat disinyalir membawa kepentingan untuk memenangkan calon meskipun secara formil menggunakan dalih “untuk meningkatkan angka partisipasi pemilih”. Persoalan-persoalan seperti ini merupakan PR bagi Pengawas Pemilu untuk merumuskan strategi khusus dalam hal pengawasan calon tunggal yang mana juga perlu payung hukum khusus terkait metode pengawasannya. Selain itu, pada pemilihan dengan kandidat calon tunggal, hanya pemantau pemilu yang terakreditasi yang memiliki legal standing (kedudukan hukum) untuk mengajukan sengketa hasil pemilihan ke Mahkamah Konstitusi. Hasil pantauan yang dituangkan dalam keterangan tertulis akan menjadi bahan utama dalam persidangan tersebut. Sementara itu, selama ini di daerah yang berpotensi menyelenggarakan Pemilihan dengan calon tunggal, tidak semuanya memiliki pemantau. Dari sini maka strategi yang dilakukan Bawaslu dalam pengawasan Pemilihan calon tunggal adalah dengan mendorong lahirnya pemantau yang terakreditasi di daerah dan menyelenggarakan kajian khusus terkait calon tunggal dengan mengundang berbagai pemangku kepentingan. Baca https://www.beritasatu.com/nasional/318631/perludem-pemantau-layak-dapatkan-legal-standing-ajukan-gugatan-hasil-pilkada. Di antara problematika di atas, ada lagi satu hal yang menarik. Dari data yang disampaikan Ketua Bawaslu RI Abhan. Pada 2020 ini disinyalir dari 270 daerah yang melaksanakan pilkada, potensi calon petahana ada di 230 daerah. Munculnya calon tunggal sering kali lahir dari anggapan sangat kuatnya calon Pertahana secara politik untuk dilawan. Apabila amaran untuk menghindari calon tunggal ini tidak diimbangi dengan pengawasan yang strategis maka jalan pintas yang ditempuh oleh pihak-pihak tertentu dalam menghindari calon tunggal adalah memunculkan calon boneka, entah dengan metode transaksional antar parpol maupun dengan metode calon perseorangan. Tentu, hal ini perlu ada strategi dan formulasi khusus dalam mengawasi bentuk-bentuk potensi pelanggaran tersebut. Atas besarnya potensi permasalahan yang lahir dari pemilihan calon tunggal di atas, maka bisa disimpulkan bahwa perlu adanya langkah-langkah strategis demi mengikis fenomena kotak kosong. Pertama, penurunan angka persentase syarat pencalonan kepala daerah baik untuk calon yang diusung parpol ataupun untuk calon perseorangan, dan menetapkan batasan maksimal syarat dukungan utamanya dari jalur partai politik agar tidak menghalangi bakal paslon lain yang diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik. Persentase dan mekanisme pencalonan yang tidak rumit, memperbesar peluang lahirnya kontestan yang mengurangi potensi munculnya calon tunggal. Kedua, Partai politik harus mewujudkan politik demokratis dalam penjaringan bakal calon kepala daerah. Serta konsistensi dalam melakukan rekrutmen kader dan dan kaderisasi. Dengan demikian akan lahir kader politik dan kader bangsa yang berintegritas dan mampu bersaing dalam tiap periode penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Ketiga, apabila pemilihan calon tunggal tidak dapat dihindari lagi maka harus ada dukungan bagi masyarakat sipil untuk melakukan konsolidasi, khususnya ormas dan lembaga pemantau pemilu serta lembaga pemantau lokal yang telah berdiri di beberapa daerah. KPU dan Bawaslu harus mendorong terbentuknya lembaga pemantau pemilu yang kredibel. Hadirnya lembaga pemantau dalam suatu pilkada khususnya dengan calon tunggal akan membuat proses pemilu lokal tersebut berlangsung secara lebih baik. (*)Tag
Opini