Lompat ke isi utama

Berita

Afif : Bawaslu, DKPP, dan KPU adalah Lembaga yang Tak Terpisahkan

blitar.bawaslu.go.id – Tahapan Pilkada Serentak Tahun 2020 Lanjutan bisa dikatakan di tepian akhir. Untuk beberapa daerah yang berpekara di Mahkamah Konstitusi (MK), dan beberapa lain sudah menetapkan pasangan calon terpilih. Belum kering keringat penyelenggara, pembahasan mengenai revisi undang-undang Pemilu dan Pilkada 2022 sudah mulai memanas. Salah satunya dibahas dalam zoom meeting tentang Revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada 2022, Mungkin dan Urgenkah? pada Minggu, 24 Januari 2021  pukul 13.00 -15.30 WIB. Acara  daring ini merupakan kolaborasi Lingkar Madani Untuk Indonesia (Lima Indonesia) dengan (Yayasan Rumah Konstitusi Indonesia). Acara di buka oleh Amir Hamdani Nasution (Ketua Yayasan Rumah Konstitusi Indonesia) sebagai moderator. Materi pertama disampaikan Ahmad Doli Kurnia (Ketua Komisi II DPR RI), mengenai revisi Undang- undang pemilu dan Pilkada 2022. Dia menyampaikan isu-isu klasik seperti parliamentary threshold atau ambang batas di parlemen, Presiden  threshold  ambang batas untuk mecalonkan presiden dan wakil Presiden apakah masih sama atau tidak, alokasi kursi perdapil baik DPR RI dan DPRD Provinsi, DPRD kab/Kota, serta perhitungan suara kursi di parlemen. Isu kontemporer yang disampaikan seperti   pelaksanaan Pemilu dan Pilkada 2022 dengan system E-Voting,  peran dan fungsi Lembaga penyelengara pemilu DKPP, KPU RI, dan Bawaslu RI, semangat Demokrasi pembangunan moral politik, serta implikasi penggabungan 2 (dua) undang- undang. Ada dua  rancangan yang dibangun dalam  pada revisi undang undang. Pertama  Pemliu Nasional adalah pemilihan presiden dan wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD Provinsi). Kedua pemilu Daerah adalah pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, serta DPRD Kab/Kota. “Beliau juga menyampaikan konsep atau pemikiran Pilkada Serentak Nasional di antara dua pemilu nasional pada 2027,” kata Munir, ketua Panwaslu Kecamatan Kanigoro yang mengikuti webinar ini. Sementara itu, pembicara lain yakni Anggota Bawaslu RI Mohammad Afifudin menyampaikan bahwa Bawaslu sebagai Lembaga pengawas untuk tetap dipertahankan. “Bawaslu, DKPP, dan KPU Lembaga yang satu kesatuan fungsi yang tidak dipisahkan,” tegas Afif. Afif juga menyampaikan jika penyelenggaraan pemilihan serentak dilaksanakan pada 2027 maka kemungkinan akan terjadi vacuum of power bagi daerah yang masa jabatan habis pada 2025. “Dalam hal ini, penyelenggara memerlukan kepastian hukum dalam setiap level sebagai pijakan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya,” ujar Afif. Titi Anggraini, narasumber lainnya dari Perludem, menyampaikan bahwa pengaturan saat ini pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang  Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota Pemilihan pada 2017 menjabat sampai dengan 2022, pemilihan 2018 menjabat sampai dengan 2023, dan pemilihan 2020 menjabat sampai dengan 2024. Pada tahun 2022  ada 101 daerah yang akan melaksanakan pilkada di antaranya 7 provinsi, 76 Kabupaten dan 18 kota.  Sedangkan pada 2023 ada 170 daerah yang melaksanakan pilkada di antaranya 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 38 Kota. “Penggabungan pemilu dan pilkada di tahun yang sama antara lain, efisiensi penyelenggaraan dan ongkos politik, koherensi keterpilihan partai dan eksekutif pada tingkat nasional dan tingkat daerah, menjaga stabiltas politik, ekonomi dan tatakelola pemerintahan,” ujarnya. Titi menambahkan, penyelenggara pemilu ada untuk melaksanakan pemilu jika tidak ada kegiatan yang relevan dan tidak  signifikan apa masih perlu  Lembaga yang permanen,  pilkada dan pemilu digabung pada tahun yang sama maka hanya tahun 2024 hanya ada satu aktif dalam kepemiluan sedangkan penyelenggara  permanen Kab/kota selama lima tahun. Pembicara ke empat  yakni Ketua KPU Provinsi DKI  Jakarta Betty Epsilon Idroos. Dia menyampaikan, banyak catatan desain kelembagaan penyelenggara pemilu selalu beranjak dari pengalaman sebelumnya. Semisal Pemilu 2004 dianggap KPU bermasalah, maka dilakukan rekrutmen anggota KPU secara terbuka. Pada 2009, KPU  dianggap tidak berkompeten, maka Bawaslu menjadi lembaga permanen sampai tingkat kabupaten/kota. Sehingga diharapkan ke depan dalam penyusunan undang-undang diperlukan berkelanjutan. Penyelenggara perlu kepastian hukum terkait hasil rancangan Undang undang pemilu dan pilkada sehingga dalam menyusun  Peraturan KPU dan lainnnya perlu kematangan. Terutama daerah yang akan melaksanakan pilkada pada tahun 2022 seperti daerah DKI Jakarta. Pembicara kelima Ray Rakuti menyampaikan bahwa bahwa dalam pengabungan undang-undang pemilu dan pilkada ini perlu masukan dari masyarakat, pemerhati dan serta Lembaga yang konsen mengawal demokrasi. Tak hanya itu  pilkada tahun 2022 yang mana pada saar ini masih masa pandemi Covid-19 juga menjadi pertimbangan untuk dilaksanakan pada tahun 2022, walaupun di gabung  pilkada tahun 2022 dengan 2023 juga bisa. “Pilkada tahun 2022, 2023 tetap di laksanakan, sedangkan untuk Pemilihan serentak Nasional di laksanakan pada 2024,” menurut Ray. (munir/humas)  
Tag
Berita